Sunan Bonang dilahirkan pada tahun
1465, dengan nama
Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra
Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Bonang adalah sebuah desa di
kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias
Sunan Ampel. Sunan Bonang wafat pada tahun
1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota
Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun
1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari
Sunan Ampel, dan bersaudara dengan
Sunan Bonang. Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di
desa Drajat,
Paciran,
Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra
Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran
islam beliau menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh
kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh
Raden Patah pada tahun saka 1442/
1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari
Surabaya maupun
Tuban lewat
Jalan Daendels (
Anyar-
Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30
menit dengan kendaraan pribadi.
Sunan Giri adalah nama salah seorang
Walisongo dan pendiri kerajaan
Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah
Gresik,
Jawa Timur. Ia lahir di
Blambangan tahun
1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu
Raden Paku,
Prabu Satmata,
Sultan Abdul Faqih,
Raden 'Ainul Yaqin dan
Joko Samudra. Ia dimakamkan di
desa Giri,
Kebomas, Gresik.
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari
Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan
'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri/Sunan Giri merupakan putera dari pasangan Putri Pasai (Jeumpa?) dengan putera Raja Bali. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok. Pasangan Putri Pasai dengan Raja Majapahit ini telah memperoleh seorang putera. Kemudian Putri Pasai diberikan oleh Raja Majapahit kepada putera dari Raja Bali. Jadi Pangeran Giri saudara seibu dengan putera Raja Majapahit. Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang
Jawa asli. Sebutan
Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari wilayah
Arab Maghrib di
Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama
Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi
Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di
Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku
The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik,
Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "
Mulana Ibrahim, seorang
Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari
Jenal Abidin, dan sepupu raja
Chermen (sebuah negara
Sabrang), telah menetap bersama para
Mahomedans lainnya di
Desa Leran di
Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari
Kashan, suatu tempat di
Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan
Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan
Husain bin Ali,
Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir,
Ja'far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi,
Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim,
yang berarti ia adalah keturunan orang
Hadrami yang berhijrah.
Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah, lahir sekitar
1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar
1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok
ulama besar di
Jawa bernama
walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di
Jawa Barat.Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian
Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama
Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia
Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan
vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Sunan Kalijaga atau
Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh
Wali Songo yang sangat lekat dengan
Muslim di Pulau
Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh
Islam ke dalam tradisi
Jawa. Makamnya berada di
Kadilangu,
Demak.
Menurut cerita,Sebelum menjadi
Walisongo,Raden Said menjadi seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi.Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin.Suatu hari,Saat Raden Said ke hutan,ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat.Orang itu adalah
Sunan Bonang.Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas,ia merampas tongkat itu.Katanya,hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin.Tetapi,Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu.Ia menasihati Raden Said bahwa
Allah tidak akan menerima amal yang buruk.Lalu,Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha,maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang.Karena itu,Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang.Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai.Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya.Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tep sungai.Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang.Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut.Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama.Karena lamanya ia tertidur,tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.Tiga tahun kemudian,Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said.Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai,maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang.Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya,
Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "
sufistik berbasis
salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu
suluk ciptaannya yang populer adalah
Ilir-ilir dan
Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan
sekatenan, garebeg maulud, serta lakon
carangan Layang Kalimasada dan
Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati
Pandanaran,
Kartasura,
Kebumen,
Banyumas, serta
Pajang.
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung alias Sunan Undung (Sunan Kudus senior), adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro dan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550. Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di
desa Kerjasan,
Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama
Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
Sunan Muria dilahirkan dengan nama
Raden Umar Said atau
Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari
Sunan Kalijaga yang menikah dengan
Dewi Soejinah, putri
Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (
Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota
Kudus,
Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama
Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun
1401 di
Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa
Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di
Kamboja. Pendapat lain,
Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di
Aceh yang kini bernama
Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah
Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan
Kronik Cina dari
Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai
Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku
Hui beragama Islam
mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Kapten Cina di Champa oleh
Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia
Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya
Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).
[1][2]
Sementara itu seorang putri dari
Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias
Syaikh Bantong (alias
Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias
Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam
Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu
Brawijaya.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku
Hui dari
Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati (anak Sultan Champa) yang menjadi permaisuri raja Brawijaya.
Menurut
Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan
Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil isteri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya
Patih Maudara (kelak
Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias
Girindrawardhana alias
Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan isteri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika isterinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut
Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristerikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai isteri oleh
Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai
Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai
Pangeran Makhdum.